Sabtu, 24 April 2010
Keterbukaan Diri (Self Disclosure)
Minggu, 11 April 2010
Makalah Komunikasi Massa
Sabtu, 12 Desember 2009
Hubungan Perkembangan Teknologi Komunikasi Dengan Penyiaran Islam, Serta Strategi Penyiaran Islam Dengan Memanfaatkan Teknologi Komunikasi
Salah seorang pakar komunikasi mengatakan, “Dakwah bilqalam adalah dakwah melalui media cetak, mengingat kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan seseorang berkomunikasi secara intens dan menyebabkan pesan dakwah bisa menyebar seluas-luasnya, maka dakwah lewat tulisan mutlak dimanfaatkan oleh kemajuan informasi. ”Artinya dakwah bilqalam bisa dilakukan oleh kita semua, yang penting dalam dakwah lewat tulisan ini adalah materi (content) yang akan kita sampaikan sesuai dengan kaidah Islam, dengan tanpa mengabaikan unsur seni tulisan yang indah dibaca dan menarik.
Pada era sekarang, di mana internet sudah mulai menjamur, maka kita juga perlu memanfaatkan internet untuk sarana dakwah. Dahulu, pada saat internet pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuan Barat, hampir kebanyakan tokoh Islam merasa curiga dan khawatir akan efek dari temuan teknologi tersebut. Namun pemikir Islam dari Syria Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata, “Ternyata jaringan internet yang hampir menelan seluruh penjuru dunia adalah merupakan lahan luas yang disitu bertebaran podium-podium yang menyuarakan kepentingan Islam dengan memperkenalkan, mengajak (dakwah), membela dan memecahkan berbagai problema.”
Dakwah melalui jaringan internet sangat efektif dan potensial dengan berbagai alasan, diantaranya pertama mampu menembus batas ruang dan waktu dalam sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau. Kedua, pengguna jasa internet setiap tahunnya meningkat drastis, ini berarti berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah. Ketiga, para pakar dan ulama yang berada di balik media dakwah via internet bisa lebih konsentrasi dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang menuntut status hukum syar’i. Keempat, dakwah melalui internet sudah menjadi salah satu pilihan masyarakat. Berbagai situs dapat dipilih materi dakwah yang disukai. Kelima, cara penyampaian yang variatif telah membuat dakwah via internet bisa menjangkau segmen yang luas.
Seorang muslim dapat memanfaatkan internet dan menggunakannya untuk kepentingan agama dengan melakukan hal-hal berikut ini:
1. Mengajak orang-orang non muslim untuk masuk Islam dengan cara menjelaskan hakekat dan keistimewaan
2. Membantah syubhat yang menyudutkan Islam.
3.Mengakses informasi terkini berupa berita, fatwa, dan di segala bidang keagamaan, kemudian menyebarkannya untuk memberi motivasi kepada orang lain untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan hina.
4. Menyelenggarakan forum-forum diskusi keagamaan. Hal ini sudah dibuktikan memiliki dampak yang sangat efektif.
5. Mendirikan situs khusus untuk perempuan. Di situs tersebut berisi tentang segala urusan perempuan, forum untuk diskusi, dan tanya jawab seputar perempuan.
6. Memotivasi para pengguna internet untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasulullah
7. Menautkan kehidupan ini dengan ajaran-ajaran Islam dengan cara memberi kepahaman kepada para pengguna internet tentang keberadaan Allah, perintah dan larangan Allah, serta surga dan neraka.
8. Memberi dukungan terhadap seluruh kegiatan Islam yang dilakukan di situs-situs, forum-forum, ataupun ruang diskusi.
9. Mengingatkan tentang keutamaan mengerjakan amal-amal kebaikan, misalnya keutamaan membaca surat Yasin, membaca shalawat, bersedekah, dan lain sebagainya.
10. Mengusulkan proyek-proyek kebaikan dan proyek-proyek dakwah di forum-forum. Dengan demikian, Anda akan mendapatkan pahala sebagai penunjuk kebaikan.
11. Menulis di situs-situs, forum-forum, atau yang lainnya dengan segala cara, tujuanya untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.
Mengajak orang kafir untuk masuk Islam dngan mengirimkan e-mail atau berdialog dengan mereka secara baik-baik, atau dengan menampilkan mukjizat-mukjizat yang terkandung pada Al-Qur`an dan Sunah.
MEMPROMOSIKAN KOMUNIKASI ILMU DAN TEKNOLOGI
Negara-negara Muslim mutlak perlu mengembangkan dan mempromosikan sumber-sumber tradisional komunikasi,seperti:jurnal ilmiah dan pendirian jaringan-jaringan informasi yang kecil dandirancang secara spesifik untuk menyatukan dan mengajukangagasan antara para ilmuan dan intelektual muslim.
Dewasa ini dunia muslim sangat kekurangan jurnal-jurnal ilmiah. Oleh karena itu dunia muslim dituntut untuk menerbitkan sejumlah besar jurnal primer dan skunder yang dikhususkan untuk para ilmuan serta intelektual muslim untuk melayani dunia muslim. Jurnal ilmiah barat telah terbukti kreatifitasnya ditunjukkan kepada negara-negara industri, karena negara industri telah terbiasa membaca jurnal tersebut.
Para ilmuan muslim mengalami kesulitan untukmenerbitkan karya-karya mereka dengan alasan:
a) Sebagian besar jurnal itu mengkhususkan diri dalam bidang yang terperinci,
dan tidak global serta sedikit pengecualian yang berada diluar wilayah
kekuasaanpara ilmuan di negri-negri Muslim.
b) Untuk jurnal yang meliputi sejumlah masalah disiplin ilmiah, seperti “alam”
dan “sains” serta problematika di negara muslim tidak relevan, oleh karena
itu jurnal tersebut tidak dimuat (dilampirkan).
c) Sebagian besar jurnal untuk mempublikasikan diperlukan pembayaran dengan
mata uang yang stabil.
Dengan demikian, dunia muslim tidak perlu mengembangkan suatu sistem komunikasi internal untuk sains dan gagasan, dunia muslim harus tetap menerbitkan jurnal-jurnal yang berkualitas tinggi, karena sangat diperlukan oleh komunitas ilmiah di dunia Muslim.
Selain itu jurnal-jurnal yang berkualitas tinggi sangat diperlukan di dunia muslim dalam semua bidang ilmu, dari antropologi sampai zoology. Sejumlah jurnal seperti itu yang mengupas sisi-sisi teoretis dan praktis ilmu alam, sosial dan humaniora akan mengangkat moral para ilmuan dan sarjana sepenuhnya mengubah kualitas serta pengetahuan di dunia muslim.
Tantangan Komunikasi Islam pada Era Globalisasi Informasi
Beberapa tantangan yang dapat diidentifikasi pada era globalisasi dan informasi bagi perkembangan dan pembangunan Kominikasi Islam di masa depan:
Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif dalam penyebaran isu.
Tantangan tersendiri bagi konsep bangunan komunikasi Islam di masa depan untuk mengeliminir seluruh nilai-nilai komunikasi informasi yang bertentangan dengan nilai luhur Islam.
Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspose persoalan-persoalan seksualitas, peperangan dan tindakan kriminal lainnya mendatangkan efek yang berbanding terbalik dengan tujuan komunikasi dan informasi itu sendiri.
Lemah sumber daya modal maupun kualitas negara-negara Muslim memaksa masyarakat Muslim mengimport teknologi komunikasi informasi dari dunia Barat.
Peluang Pengembangan Komunikasi Islam di Masa Depan
Bila komponen sasarannya selaras dengan aspek-aspek mutlak, substisional, kultural dan subyektif suatu masyarakat, barulah informasi dapat memberikan sumbangan positif kepada masyarakat itu sendiri.
Adanya perubahan dari era industri menuju era informasi.
Pada masa depan komunikasi Islam dapat dikembangkan dengan memperhatikan 7 konsep pokok Islam yang mempunyai kaitan langsung dengan penciptaan dan penyebaran informasi.
Peluang eksistensi komunikasi Islam di masa depan dapat lewat buku, bahwa buku merupakan inftrastruktur penyebaran informasi dalam rangka menegakkan peradaban Muslim.
Suatu strategi informasi yang tepat bagi dunia Muslim yang dirancang untuk memenuhi tuntunan abad ke-21 dengan demikian mengandung tujuh butur berikut:'
1) Negri Muslim perlu mendirikan lembaga-lembaga riset . Negri Muslim perlu melahirkan informasi mereka
2) Setiap Negri Muslim perlu mengembangkan suatu struktur informasi yang tepat, seperti pusat dokumentasi
3) Mendirikan jaringan perpustakaan publik maupun pusat informasi di pedesaan yang dirancang untuk
4) Memperhatikan kebutuhan para ilmuan, teknolog dan sarjana Muslim, sebab mereka adalah fondasi
5) Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin besarnegri-negri Muslim dan para periset serta cendikiawan
6) Pustakawan dan ilmuan informasi Muslim harus memainkan peranan khusus dalam menghadapi tantangan-
7) Dalam mendirikan struktur informasi nasional, jaringan tersentralisasikan, distributif dan berskala ummah,
Sehingga tujuan menyebarkan agama islam dapat tercapai, atau bahasa yang lebih islami agar dapat menegakkan kalimat La ilaha ilallah wa Muhammadar rasulullah (tiada tuhan selain Allah dan nabi Mumammad adalah utusan Allah). Karena semua muslim yang meyakini ayat-ayat Al-quran dan sunnah Rasul saw, pasti bercita-cita mengakhiri hidupnya dengan khusnul khatimah (dengan akhir yang baik) dan juga bisa bersama-sama Rasul saw disurga, bertemu Allah swt. Insya Allah.
Akhirnya, hanya dengan mengembangkan teknologi-teknologi informasi yang sesuai dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan criteria nilai yang khaslah, negri-negri Muslim akan dapat bertahandengan integritas dan kemandiriannya di Abad Informasi. Teknologi-teknologi informasi akan bermanfaat bagi masyarakat Muslim hanya jika di produksi dan dikendalikan sepenuhnya oleh mereka. Dikembangkan dengan sutu yang kritis dan seimbang.
1) Sardar, Ziauddin, Tantangan Dunia Islam Abad 21, Penerbit Mizan, Bandung: 1992.
2) Hasan Tholhah, Prospek Islam dalam menghadapi Tantangan Zaman, Penerbit: Lantabora Press,
3) Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi oleh Moh. Rafiq.
4) www.syafiiakrom.wordpress.com
Selasa, 20 Oktober 2009
Dilema Sekularisasi IKAAD (Tanggapan Atas Pemikiran Muzhive El-Batavie)
Tampaknya, geliat pemikiran di internal IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok) mulai menyeruak. Hal ini ditandai dengan adanya tuntutan intelektual untuk diadakannya sekularisasi di tubuh IKAAD. Tentu saja ini, sesuatu yang menggembirakan. Mengingat tradisi pemikiran, belum begitu kuat di IKAAD. Dengan demikian, tuntutan tersebut mencerminkan bahwa selama ini berarti ada pandangan kuat bahwa IKAAD terjebak pada sikap tidak sekuler. Mungkin saja benar. Mengingat IKAAD lahir dari pergumulan dan perkumpulan anak pesantren Al-Awwabin yang disebut sebagai anak Mukim.
Namun, tuntutan ini bukan tanpa masalah. Ia memiliki dilema pada dirinya sendiri. Mengingat istilah sekularisasi yang biasanya digunakan dalam institusi politik kenegaraan, agaknya kurang tepat untuk digunakan dalam konteks Ke-IKAAD-an. Mengapa? Sebab, sejak kelahirannya IKAAD sudah meneguhkan identitas sosial-keagamaannya sebagai perkumpulan dan pergumulan pelajar agama di Pesantren maupun Madrasah. Sekularisasi IKAAD sama saja sekularisasi Al-Awwabin. Sekularisasi Al-Awwabin, sama saja men-sekularisasi dirinya baik sebagai Pesantren maupun Madrasah. Nilai-nilai pesantren dan keagamaan, tak dapat disekulerkan / di”usir”, dibuang dari IKAAD. Karena ia menjadi ruh dan kekuatan esensial IKAAD. Sekularisasi akan melenyapkan tradisi dan nilai-nilai keagamaan yang dibawakan oleh Al-Awwabin sebagai Pesantren dan Madrasah khususnya gerakan pemikiran dan tindakan Abuya KH. Abdurrahman Nawi. Dan umumnya nilai-nilai yang melembaga dan menubuh dalam Al-Awwabin, hasil sintesanya dengan warganya.
Meski demikian, untuk mengatasi dilema ini, penulis menawarkan jalan keluar untuk menempatkan dan meletakkan sekularisasi pada tempatnya. Yakni, sekularisasi di wilayah institusional/organisasi. Dan bukan sekularisasi nilai-nilai. Nilai-nilai IKAAD perlu dipertahankan dan dibela seminimal mungkin. Silaturrahmi, musyawarah, ta’awun fil birri wattaqwa, ijtima’ fil khoir, birrul asatidz. Perlu dipikirkan ulang, bagaimana merancang sebuah organisasi yang nyaman dan membebaskan bagi semua anggota IKAAD. Selama ini, ada dua pandangan besar yang mempengaruhi individu dalam hubungannya dengan organisasi : pertama keakraban tanpa komitmen. Kedua, komitmen tanpa keakraban.
Berorganisasi mustahil me-negasikan komunikasi yang massif-interaktif. Arah komunikasi organisasi biasanya melahirkan apa yang disebut sebagai konsensus/kesepakatan bersama. Untuk wujud dalam kenyataan, kesepakatan butuh komitmen kuat untuk menjalankannya. Saking komitmennya, tak jarang, pelaku organisasi, terutama pemimpinnya, terpaksa harus berwajah sangar, serius dan emosional demi menjaga konsensus yang banyak lahir dari kementahan pemetaan masalah. Konsekswensi terbesar adalah hilangnya keakraban demi sebuah komitmen bersama. Muncullah, ketegangan struktural (structural strain) sebagaimana paradigma Teori Pergerakan Sosial Robert Muller. Ketegangan ini tentu saja mengganggu pandangan yang pertama, yakni keakraban tanpa komitmen. Itu yang pertama. Gangguan kedua, tampak bahwa pandangan itu potensial berubah menjadi de-otonomisasi dan de-aktualisasi diri warga IKAAD. Lahirlah keputusasaan, kekecewaan, rasa tertekan dan kebingungan akibat hilangnya otonomi dan aktualitas diri warga IKAAD dalam IKAAD. Ini diakibatkan ketegangan struktur luar yang begitu luar biasa mem-pressure warga.
Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan meng-otonomisasi diri akhirnya terbentuk dalam mindsett warga sebagai sesuatu yang mahal ketika ber-IKAAD. Muncullah pandangan warga IKAAD jika ber-IKAAD berarti mereka harus meninggalkan apa yang disenanginya, diakrabinya, dinikmatinya, entah itu pergaulan, pekerjaan, ideologi, identitas, hobby, komunitas, hiburan, spiritualitas, pendidikan dsb. IKAAD menjadi suatu makhluk yang dianggap merugikan, menyusahkan, merepotkan, mengatur-atur, mewajibkan, menguasai, mencampuri urusan orang lain, ketat, sangar, membatasi keinginan dan kebebasan warganya, memaksakan, dsb. Stereotip inilah yang harus diubah oleh IKAAD-iyin. Dan menjadi PR bagi mereka? Bagaimana meng-Konsep sebuah organisasi yang menyenangkan, membebaskan memandirikan dan mencerdaskan dan mengikatnya dengan keempat unsur ini. Yang berbeda dengan konsep organisasi kebanyakan. Yang sibuk dengan rutinitas pergantian pengurus (sirkulasi kekuasaan), distribusi kerja, pemimpinnya intruksi sana-sini, rekayasa konsensus, mentradisikan atasan-bawahan, pragmatisme “yang pentig jalan” dan “terima beres”, bikin seksi-seksi/departemen dst.
Agaknya, kerja sekularisasi IKAAD lebih tepat ditempatkan di sini. Ya, di wilayah institusi organisasinya / bagian luar dari IKAAD. Sehingga sekularisasi IKAAD berarti meminggirkan nilai-nilai IKAAD dari bentuk luar dan mengembalikannya ke bagian terdalam dari IKAAD. Alangkah nikmatnya, jika ber-IKAAD dari dalam dan kemauan individual dan bukan tekanan dan keterpaksaan sosial. Alangkah senang dan akrabnya, jika batas ber-IKAAD adalah nilai terdalam IKAAD itu sendiri. Jika ini ikut di-sekulerkan, maka penulis yakin, masa depan IKAAD akan semakin gelap melengkapi keabu-abuannya selama ini. Terima Kasih.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Jumat, 22 Mei 2009
Boad Alumni Daarul Uluum I
Senin, 18 Mei 2009
Slanker's Logo Lawas
Buat Fans Batavie Community
Muzhive_23@yahoo.com (LC)
Muzhive@yahoo.com (FB)
Muzhive@yahoo.com (hi5)
Zhive_23@yahoo.com (FS)
Muzhive@yahoo.co.id (YM)
Klw dah gabung ke sini, yang laen makin ketinggalaaaaaaaaaaaaaaan looooochh.....
Kamis, 14 Mei 2009
Makalah Filsafat
DEFINISI ETIKA
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)
Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Kata moral mempunyai makna yang sepadan dengan kata etika. Seperti dijelaskan Harold H. Titus term moral dan etika itu maknanya adalah saling berhubungan. Yang pertama berasal dari bahasa Latin moralis, sedang yang kedua berasal dari bahasa Yunani, ethos. Keduanya dapat diartikan dengan; adat-istiadat tata cara atau jalan hidup (way of life). Kedua kata ini biasanya digunakan dengan makna sinonim. Akan tetapi, dewasa ini penggunaan kedua kata tersebut menunjukkan pengkhususan: Moralitas digunakan untuk menunjukkan tingkah laku/perilaku tertentu “it self”. Sementara itu, etika dipakai untuk menunjukkan proses belajar mengenai tingkah laku/perilaku moral.
Sementara itu, K. Bertens merujuk makna bentuk jamak dari etika: ta etha mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian K. Bertens menambahkan bahwa etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima suatu masyarakat -seringkali tanpa disadari- menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika sebagai ilmu ini menurut K. Bertens sama artinya dengan filsafat moral.
Filsafat moral di sini diartikan dengan penilaian tentang sesuatu entag baik ataupun buruknya. Penilaian ini disebut moralitas. Moralitas berdasarkan konteks filsafat moral ini mengambil bentuk pengertian tentang baik dan buruk yang merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat di mana-mana dan segala zaman. Dengan kata lain, moralitas itu (kata K. Bertens) adalah fenomena manusiawi yang universal. Dalam konteks filsafat morat ini pula, K. Bertens memaknakan etika sebagai ilmu tentang moralitas, yakni tingkah laku moral.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kedua istilah di atas sebagai berikut: (a) etik: (i) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (ii) nilai mengenal baik dan buruk yang dianut suatu golongan atau masyarakat; (b) etika: (i) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (c) etiket: (i) carik kertas yang ditempatkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan mengenai barang tersebut. (ii) tata cara (adat sopan santun dan sebagainya) dalam masyarakat yang beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesamanya.
Moral: (i) (ajaran tentang) baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. (ii) kondisi mental yang membuat tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. (iii) Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Moralitas: Segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat, sopan santun.
Todays English Dictionary mengambil makna sebagai berikut: Ethic (s):(i) Keyakinan moral mengenai benar dan salah; (ii) Muatan-muatan filosofis yang terdiri dari beberapa persoalan moral. Ethica: (i) Digunakan untuk membicarakan tentang sesuatu yang dikerjakan dengan cara mempertanyakan mengenai benar atau salahnya. (ii) Sikap untuk menerima prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar. Moral: Digunakan untuk menyata-kan sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang benar. Morality: Keyakinan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, sedangkan tindakan yang lain adalah salah.
Melihat definisi dari dua kamus di atas dapat disebutkan bahwa etika dan moral berkaitan dengan kelakuan, tindakan, dan perbuatan yang didasarkan pada norma, asas, dan nilai baik-buruk yang diyakini oleh suatu masyarakat tertentu. Perbuatan, tindakan, dan tingkah laku itu lalu berada dalam penilaian etis dan moral.
Dalam melakukan perbuatan, seseorang didasarkan pada keinginannya. Keinginannya ini adalah kebebasannya, apakah ia akan berlaku baik atau pun buruk. Oleh karena itu, dalam kamus di atas disebutkan bahwa etika berkaitan dengan hak dan kewajiban moral; moral berhubungan dengan ajaran baik-buruk, kondisi mental untuk tetap berbuat baik, dan keinginan hati nurani.
Etika dan moral berkaitan dengan hukum baik-buruk, dan oleh karena itu keduanya tidak netral. Istilah etika dan moral dalam konteks ini mempunyai makna hukum baik dari perbuatan. Maka orang yang berkelakuan buruk itu disebut tidak bermoral, atau telah keluar dari jalur yang telah digariskan oleh etika.