Selasa, 20 Oktober 2009
Dilema Sekularisasi IKAAD (Tanggapan Atas Pemikiran Muzhive El-Batavie)
Tampaknya, geliat pemikiran di internal IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok) mulai menyeruak. Hal ini ditandai dengan adanya tuntutan intelektual untuk diadakannya sekularisasi di tubuh IKAAD. Tentu saja ini, sesuatu yang menggembirakan. Mengingat tradisi pemikiran, belum begitu kuat di IKAAD. Dengan demikian, tuntutan tersebut mencerminkan bahwa selama ini berarti ada pandangan kuat bahwa IKAAD terjebak pada sikap tidak sekuler. Mungkin saja benar. Mengingat IKAAD lahir dari pergumulan dan perkumpulan anak pesantren Al-Awwabin yang disebut sebagai anak Mukim.
Namun, tuntutan ini bukan tanpa masalah. Ia memiliki dilema pada dirinya sendiri. Mengingat istilah sekularisasi yang biasanya digunakan dalam institusi politik kenegaraan, agaknya kurang tepat untuk digunakan dalam konteks Ke-IKAAD-an. Mengapa? Sebab, sejak kelahirannya IKAAD sudah meneguhkan identitas sosial-keagamaannya sebagai perkumpulan dan pergumulan pelajar agama di Pesantren maupun Madrasah. Sekularisasi IKAAD sama saja sekularisasi Al-Awwabin. Sekularisasi Al-Awwabin, sama saja men-sekularisasi dirinya baik sebagai Pesantren maupun Madrasah. Nilai-nilai pesantren dan keagamaan, tak dapat disekulerkan / di”usir”, dibuang dari IKAAD. Karena ia menjadi ruh dan kekuatan esensial IKAAD. Sekularisasi akan melenyapkan tradisi dan nilai-nilai keagamaan yang dibawakan oleh Al-Awwabin sebagai Pesantren dan Madrasah khususnya gerakan pemikiran dan tindakan Abuya KH. Abdurrahman Nawi. Dan umumnya nilai-nilai yang melembaga dan menubuh dalam Al-Awwabin, hasil sintesanya dengan warganya.
Meski demikian, untuk mengatasi dilema ini, penulis menawarkan jalan keluar untuk menempatkan dan meletakkan sekularisasi pada tempatnya. Yakni, sekularisasi di wilayah institusional/organisasi. Dan bukan sekularisasi nilai-nilai. Nilai-nilai IKAAD perlu dipertahankan dan dibela seminimal mungkin. Silaturrahmi, musyawarah, ta’awun fil birri wattaqwa, ijtima’ fil khoir, birrul asatidz. Perlu dipikirkan ulang, bagaimana merancang sebuah organisasi yang nyaman dan membebaskan bagi semua anggota IKAAD. Selama ini, ada dua pandangan besar yang mempengaruhi individu dalam hubungannya dengan organisasi : pertama keakraban tanpa komitmen. Kedua, komitmen tanpa keakraban.
Berorganisasi mustahil me-negasikan komunikasi yang massif-interaktif. Arah komunikasi organisasi biasanya melahirkan apa yang disebut sebagai konsensus/kesepakatan bersama. Untuk wujud dalam kenyataan, kesepakatan butuh komitmen kuat untuk menjalankannya. Saking komitmennya, tak jarang, pelaku organisasi, terutama pemimpinnya, terpaksa harus berwajah sangar, serius dan emosional demi menjaga konsensus yang banyak lahir dari kementahan pemetaan masalah. Konsekswensi terbesar adalah hilangnya keakraban demi sebuah komitmen bersama. Muncullah, ketegangan struktural (structural strain) sebagaimana paradigma Teori Pergerakan Sosial Robert Muller. Ketegangan ini tentu saja mengganggu pandangan yang pertama, yakni keakraban tanpa komitmen. Itu yang pertama. Gangguan kedua, tampak bahwa pandangan itu potensial berubah menjadi de-otonomisasi dan de-aktualisasi diri warga IKAAD. Lahirlah keputusasaan, kekecewaan, rasa tertekan dan kebingungan akibat hilangnya otonomi dan aktualitas diri warga IKAAD dalam IKAAD. Ini diakibatkan ketegangan struktur luar yang begitu luar biasa mem-pressure warga.
Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan meng-otonomisasi diri akhirnya terbentuk dalam mindsett warga sebagai sesuatu yang mahal ketika ber-IKAAD. Muncullah pandangan warga IKAAD jika ber-IKAAD berarti mereka harus meninggalkan apa yang disenanginya, diakrabinya, dinikmatinya, entah itu pergaulan, pekerjaan, ideologi, identitas, hobby, komunitas, hiburan, spiritualitas, pendidikan dsb. IKAAD menjadi suatu makhluk yang dianggap merugikan, menyusahkan, merepotkan, mengatur-atur, mewajibkan, menguasai, mencampuri urusan orang lain, ketat, sangar, membatasi keinginan dan kebebasan warganya, memaksakan, dsb. Stereotip inilah yang harus diubah oleh IKAAD-iyin. Dan menjadi PR bagi mereka? Bagaimana meng-Konsep sebuah organisasi yang menyenangkan, membebaskan memandirikan dan mencerdaskan dan mengikatnya dengan keempat unsur ini. Yang berbeda dengan konsep organisasi kebanyakan. Yang sibuk dengan rutinitas pergantian pengurus (sirkulasi kekuasaan), distribusi kerja, pemimpinnya intruksi sana-sini, rekayasa konsensus, mentradisikan atasan-bawahan, pragmatisme “yang pentig jalan” dan “terima beres”, bikin seksi-seksi/departemen dst.
Agaknya, kerja sekularisasi IKAAD lebih tepat ditempatkan di sini. Ya, di wilayah institusi organisasinya / bagian luar dari IKAAD. Sehingga sekularisasi IKAAD berarti meminggirkan nilai-nilai IKAAD dari bentuk luar dan mengembalikannya ke bagian terdalam dari IKAAD. Alangkah nikmatnya, jika ber-IKAAD dari dalam dan kemauan individual dan bukan tekanan dan keterpaksaan sosial. Alangkah senang dan akrabnya, jika batas ber-IKAAD adalah nilai terdalam IKAAD itu sendiri. Jika ini ikut di-sekulerkan, maka penulis yakin, masa depan IKAAD akan semakin gelap melengkapi keabu-abuannya selama ini. Terima Kasih.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Langganan:
Postingan (Atom)